Pages

Selasa, 27 Mei 2008

100 thn kenagkitan nasional

100 Tahun Kebangkitan atau 'Kebangetan' Nasional
Oleh : Redaksi 25 May 2008 - 5:20 am

imageSeorang karib dari Yogya kirim sms. Isinya: "Mas, yang benar Kebangkitan atau Kebangetan atau Kebangkrutan Indonesia 100 Tahun?" TETAP SEMANGAT (huruf kapital) di akhir sms-nya. Tersirat rasa frustrasinya. Padahal dia lulusan FE UGM. Pernah menjabat Ketua BEM. Ogah jadi PNS meski difasilitasi. Terbukti sekarang punya usaha sendiri. Dan kini sering menulis opini.

Malam 20 Mei 2008, seluruh stasiun televisi menayangkan pergelaran '100 Tahun Kebangkitan Nasional' dari Istora Senayan. Ada tiga soal berkait acara ini. Pertama isi acara. Alur tema dengan yang digelar agaknya terputus. Yang diperagakan, ternyata sekadar penggalan tarian daerah. Jakarta dengan ondel-ondel, Bali dengan Barongnya. Sesuatu yang biasa disaksikan sehari-hari. Lantas, bisakah ini jelaskan pertanyaan: 'Apanya yang bangkit?'

Soal kedua saat pergelaran. Dalam kondisi rakyat yang makin terhimpit, dalam keresahan BBM dan BLT, tepatkah gelar perhelatan seakbar itu? Sense of crisis kita memang dangkal. Dan ketiga, perhelatan ini punya pesan ke seluruh Indonesia. Bahwa Indonesia baik-baik saja.

Maka yel-yel pun digelegar. 'Indonesiaaaa Bisaaa'. Sekali lagi, 'Indonesiaaa Bisaaa'. Pertanyaanya: 'Bisa apa?' Perhelatan '100 Tahun Kebangkitan Nasional' memang kaburkan kondisi nyata Indonesia. Kita memang kebangetan. Sesungguhnya Indonesia saat ini tengah menghadapi tiga soal besar. Pertama krisis identitas. Kedua spirit korupsi yang begitu tinggi. Dan ketiga lemahnya berkorban untuk bangsa.

Krisis identitas
imageKata lain krisis identitas, tak lain krisis jati diri. Jati diri dapat disingkap dari lima pertanyaan : siapa kita, dari mana asal usul kita, apa tujuan kita, dimana posisi sekarang dan kini tengah mengerjakan apa. Lima pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur. Siapa kita dan asal usul, jelas Indonesia. Tujuan kita, tentu untuk kemakmuran bangsa. Soalnya kini, mengapa hanya segelintir pihak yang nikmati kemakmuran. Di mana posisi Indonesia, ini juga soal besar. Utang Indonesia total sudah capai US$ 150-an miliar lagi. Sumber daya alam, perbankan, dan industri strategis sudah dicaploki asing. BMI yang kita banggakan, toh kepemilikan lokal saat ini hanya 14%. Lantas untuk menjawab kini tengah kerjakan apa, cukup menyimak pergelaran 20 Mei '08. Temanya '100 Tahun Kebangkitan Nasional', tapi isinya tarian daerah. Apa yang dilakukan memang kerap tak nyambung.

Krisis identitas sudah dimulai sejak SD. Yang diburu cuma kepintaran. Yang punya hubungan ke luar negeri, makin ciamik. Dengan kefasihan Inggris, anak-anak disiapkan untuk tak lagi canggung jual negara jika sudah besar nanti. Sekolah yang tekankan karakter cuma satu dua. Lagu-lagu perjuangan jarang lagi terdengar di telinga anak-anak. Berbagai training motivasi pun tumbuh. Manusia Indonesia memang unik. Untuk jadi baik perlu dimotivasi. Namun yang ditawarkan lebih pada pengalaman pribadi. Manfaatnya baru sebatas pribadi.

Hasilnya amat tampak di sebagian politisi. Durasi politisi kita cuma antarpilkada dan pemilu. Sulit dicari yang punya pemikiran 25 tahun ke depan. Yang tua-tua buat partai, bukan untuk majukan yang muda-muda. Dulu waktu menjabat, ngapain. Negarawan makin sulit dicari di Indonesia. Sebagian akademisi kita juga begitu. Larut dalam hingar bingar pemilu, hingga tak sungkan terjun ke berbagai model center para pejabat.

Spirit of corruption
imageAda karikatur yang menggambarkan seorang koruptor terengahengah dikejar massa. Dimanapun tempat tak aman. Hingga tergiringlah ke pengadilan. Tapi justru koruptor itu berkata: "Nah di sini tempat yang paling aman." Maka gelar HAKIM yang mulia pun diplesetkan. Singkatannya jadi begini: Hubungi Aku Kalau Ingin Menang. JAKSA pun disingkat jadi: Jika Akan Kalah Sisipkan Amplop.

Artinya masyarakat sudah amat pesimis. Korupsi di Indonesia memang akut. Bukan hanya massal tapi juga dilakukan secara berjamaah. Korupsi bukan hanya gelapkan uang. Secara psikologis membuat demotivasi massal. Yang baik jadi tak peduli. Yang tak baik, termotivasi untuk berlomba korupsi. Mustahil sih tidak. Tapi untuk sementara ini, membasmi korupsi di corruptors' country bagai menggantang asap.

Lemah berkorban untuk bangsa
imageDalam setiap organisasi ada tiga kepentingan: pribadi, kelompok, dan lembaga. Bagi negara, kepentingan lembaga identik dengan kepentingan rakyat. Bagi yang beriman, inti kepentingan tak lepas kaitnya dengan akhirat. Yang harus diusung, tentu kepentingan lembaga. Namun kepentingan ini sering merugikan kepentingan pribadi. Maka pribadi-pribadi pun membentuk kelompok. Akibatnya kepentingan lembaga disisihkan. Di negara ini, rakyat jadi tumbal karena sudut pandang dan kepentingan sebagian politisi dan sebagian partai. Ujung-ujungnya ada pengusaha di sana. Rakyat hanya ada saat pilkada dan pemilu. Setelah itu nyaris tak ada yang peduli.

Dalam perhelatan 20 Mei '08, presenter berteriak: "Bersama kita pertahankan kedaulatan bangsa". Kedaulatan hakiki itu terletak di mana? Kekuatan politik sebuah bangsa, sesungguhnya terletak di ekonomi. Jika berbagai asset jatuh ke asing, kedaulatan kita ambruk. Lihat Singapura. Lebih kecil dibanding Jakarta. Tapi kekuatan ekonominya yang diperhitungkan dunia, jadi kekuatan politik. Siapa berani lecehkan Singapura. Kabarnya, penerbangan di Indonesia pun dikendalikan dari Changi. Sementara Indonesia, membantu TKW pun tak sanggup. Memburu kapal ikan Thailand, juga kerap gagal karena peralatan kalah canggih. Maka 100 Tahun Kebangkitan atau 'Kebangetan' Nasional? (RioL)

(Erie Sudewo (Social Entrepreneur) ) swaramuslim.com

0 komentar: